Minggu, 10 Oktober 2010

Pandangan Islam Tentang Seni

Pandangan Islam Tentang Seni
Sebenarnya, bagaimana pandangan Islam tentang seni? Seni merupakan ekspresi keindahan. Dan keindahan menjadi salah satu sifat yang dilekatkan Allah pada penciptaan jagat raya ini. Allah melalui kalamnya di Al-Qur’an mengajak manusia memandang seluruh jagat raya dengan segala keserasian dan keindahannya. Allah berfirman: “Maka apakah mereka tidak melihat ke langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya, dan tiada baginya sedikit pun retak-retak?” [QS 50: 6].
Allah juga mengajak manusia untuk melihat dari perspektif keindahan, bagaimana buah-buahan yang menggantung di pohon dan bagaimana pula buah-buahan itu dimatangkan. Jika manusia memerhatikan dan menikmati dengan pandangan yang indah, saat arak-arakan binatang ternak saat masuk ke kandang, juga saat dilepaskan ke tempat penggembalaan, sesungguhnya pada peristiwa itu ada unsur keindahannya. Ajakan-ajakan kepada manusia tersebut menunjukkan, pada dasarnya manusia dianugerahi
Allah potensi untuk menikmati dan mengekspresikan keindahan. Seni merupakan fitrah dan naluri alami manusia. Kemampuan ini yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain. Karena itu, mustahil bila Allah melarang manusia untuk melakukan kegiatan berkesenian.
Nabi Muhammad Saw sangat menghargai keindahan. Suatu ketika dikisahkan, Nabi menerima hadiah berupa pakaian yang bersulam benang emas, lalu beliau mengenakannya dan kemudian naik ke mimbar. Namun tanpa menyampaikan sesuatu apapun, Beliau turun kembali. Para sahabat sedemikian kagum dengan baju itu, sampai mereka memegang dan merabanya. Nabi Saw bersabda: “Apakah kalian mengagumi baju ini?” Mereka berkata, “Kami sama sekali belum pernah melihat pakaian yang lebih indah dari ini.” Nabi bersabda: “Sesungguhnya saputangan Sa’ad bin Mu’adz di surga jauh lebih indah daripada yang kalian lihat.” [M Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an].
Imam Al Ghazali dalam Ihya Ulumuddin juga menuliskan bahwa: “Siapa yang tidak berkesan hatinya di musim bunga dengan kembang-kembangnya, atau oleh alat musik dan getaran nadanya, maka fitrahnya telah mengidap penyakit parah yang sulit diobati.”
Kehati-hatian dalam Seni
Kalau memang demikian pandangan Islam tentang seni, mengapa pada masa awal perkembangan Islam [zaman Nabi Saw dan para sahabatnya], belum tampak jelas ekspresi kaum muslim terhadap kesenian. Bahkan, terasa adanya banyak pembatasan-pembatasan yang menghambat perkembangan seni? Menurut Sayyid Quthb, pada masa itu, kaum muslim masih dalam tahap penghayatan nilai-nilai Islam dan memfokuskan pada pembersihan gagasan-gagasan jahiliyah yang sudah meresap dalam jiwa masyarakat sejak lama. Sedangkan sebuah karya seni lahir dari interaksi seseorang atau masyarakat dengan suatu gagasan, menghayati dengan sempurna sampai menyatu dengan jiwanya. Karena itu, belum banyak karya seni yang tercipta pada masa awal perkembangan Islam itu.
Pembatasan-pembatasan terhadap kesenian karena adanya sikap kehati-hatian dari kaum Muslim. Kehatihatian itu dimaksudkan agar mereka tidak terjerumus kepada hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang menjadi titik perhatian pada waktu itu. M Quraish Shihab menjelaskan bahwa Umar Ibnul Khaththab, khalifah kedua, pernah berkata, “Umat Islam meninggalkan dua pertiga dari transaksi ekonomi karena khawatir terjerumus ke dalam haram [riba].” Ucapan ini benar adanya, dan agaknya ia juga dapat menjadi benar jika kalimat transaksi ekonomi diganti dengan kesenian [Wawasan Al-Qur’an].
Atas dasar kehati-hatian ini pulalah hendaknya dipahami hadits-hadits yang melarang menggambar atau melukis dan memahat makhluk-makhluk hidup. Apabila seni membawa manfaat bagi manusia, memperindah hidup dan hiasannya yang dibenarkan agama, mengabadikan nilai-nilai luhur dan menyucikannya, serta mengembangkan serta memperhalus rasa keindahan dalam jiwa manusia, maka sunnah Nabi mendukung, tidak menentangnya.
Karena ketika itu ia telah menjadi salah satu nikmat Allah yang dilimpahkan kepada manusia. Demikian Muhammad Imarah dalam bukunya Ma’âlim Al-Manhaj Al-Islâmi yang penerbitannya disponsori Dewan Tertinggi Dakwah Islam, Al-Azhar bekerjasama dengan Al-Ma’had Al-’Âlami lil Fikr Al-Islâmi [International Institute for Islamic Thought].
Kesenian Islam baru berkembang dan mencapai puncak kejayaan pada saat Islam sampai di daerah-daerah Afrika Utara, Asia Kecil, dan Eropa. Daerah-daerah tersebut didefinisikan sebagai Persia, Mesir, Moor, Spanyol, Bizantium, India, Mongolia, dan Seljuk. Di daerah-daerah tersebut, Islam membaur dengan kebudayaan setempat. Terjadilah pertukaran nilai-nilai Islam dengan budaya dan seni yang menghasilkan ragam seni yang baru, berbeda dengan karakter seni tempat asalnya.

Dasar Seni Islam
Seni yang didasarkan pada nilai-nilai Islam [agama/ketuhanan] inilah yang menjadi pembeda antara seni Islam dengan ragam seni yang lain. Titus Burckhardt, seorang peneliti berkebangsaan Swiss-Jerman mengatakan, “Seni Islam sepanjang ruang dan waktu, memiliki identitas dan esensi yang satu. Kesatuan ini bisa jelas disaksikan. Seni Islam memperoleh hakekat dan estetikanya dari suatu filosofi yang transendental.” Ia menambahkan, para seniman muslim meyakini bahwa hakekat keindahan bukan bersumber dari sang pencipta seni. Namun, keindahan karya seni diukur dari sejauh mana karya seni tersebut bisa harmonis dan serasi dengan alam semesta. Dengan begitu, para seniman muslim memunyai makna dan tujuan seni yang luhur dan sakral.
Apakah seni Islam harus berbicara tentang Islam? Sayyid Quthb dengan tegas menjawab tidak. Kesenian Islam tak harus berbicara tentang Islam. Ia tak harus berupa nasehat langsung atau anjuran berbuat kebajikan, bukan juga penampilan abstrak tentang aqidah. Tetapi seni yang Islami adalah seni yang menggambarkan wujud dengan ‘bahasa’ yang indah serta sesuai dengan fitrah manusia. Kesenian Islam membawa manusia kepada pertemuan yang sempurna antara keindahan dan kebenaran.

1 komentar: